Fakta membuktikan bahwa semua manusia tersusun dari bahan dasar yang sama, memiliki struktur penyusun yang serupa, dan menyimpan potensi yang setara.
Artinya, jika seseorang bisa melakukan, menjadi, atau mencapai sesuatu—siapa pun dari kita juga bisa. Namun tidak semua potensi itu aktif.
Ada yang belum terbangun, ada yang tertidur, dan ada pula yang sudah muncul tapi belum berkembang sepenuhnya.
Dr. Kazuo Murakami, seorang ahli genetika peraih Max Planck Research Award, menyatakan bahwa gen tertentu dalam diri manusia bisa diaktifkan, dan sebaliknya, gen tertentu bisa dinonaktifkan. Ini membuka pemahaman bahwa perubahan dan pertumbuhan bukan hanya mungkin, tapi bisa diusahakan.
Menariknya, perilaku manusia juga menular. Saat seseorang menguap, kita bisa ikut menguap. Ini dijelaskan oleh temuan mirror neuron—area otak yang menyala saat kita melakukan atau menyaksikan suatu tindakan. Maka, ketika kita melihat orang lain berhasil, sesungguhnya otak kita juga sedang “berlatih” untuk itu. Seeing is doing.
Namun kenyataannya, perjalanan menuju versi terbaik diri sendiri tak selalu mudah. Ada yang menghalangi dari dalam. Banyak yang menyebutnya sebagai karma.
Karma dan Jejak Memori
Karma bukan kutukan, melainkan memori tindakan dan pengalaman, baik yang kita sadari maupun tidak. Memori ini bukan hanya tersimpan di otak, tapi juga di seluruh sel tubuh, bahkan dalam DNA. Kita bisa mewarisi trauma, rasa takut, bahkan pola pikir dari orang tua, kakek-nenek, dan leluhur.
Jika leluhur kita hidup dalam tekanan atau ketakutan, maka persepsi awal kita terhadap dunia bisa cenderung negatif. Sebaliknya, jika mereka tercerahkan dan bahagia, kita cenderung melihat dunia lebih positif. Ini adalah bentuk karma warisan.
Namun kabar baiknya: karma bisa diputus.
Kau adalah Kanvas Kosong
Manusia terdiri dari empat komponen: jasad, nyawa, sukma, dan ruh. Dari keempat ini, hanya ruh yang bersifat non-fisik dan murni berasal dari Tuhan.
Jasad, nyawa, dan sukma menyimpan memori dan pengalaman duniawi. Karma menempel pada bagian-bagian ini. Dan ketika manusia mati, komponen tersebut akan berpisah.
Jika seseorang meninggal dengan damai, berarti ia sudah tidak melekat pada dunia dan karmanya. Sebaliknya, jika meninggal dalam penderitaan, bisa jadi karena terlalu terikat pada kenangan dan luka duniawi.
Inilah sebabnya kita diminta untuk tidak melekat, terutama pada memori dan emosi yang membuat kita merasa tidak bebas. Kita harus memutus rantai karma yang menahan. Jangan mewarisi luka masa lalu sebagai takdir.
Kita semua lahir sebagai kanvas bersih, siap dilukis dengan warna baru. Meski kita membawa memori DNA leluhur, tapi kita juga punya kuasa untuk menulis ulang hidup kita sendiri.
Maafkan dan Lepaskan
Kesadaran adalah kunci. Banyak orang percaya mereka menderita karena karma masa lalu atau kehidupan sebelumnya. Namun sering kali, penderitaan justru muncul dari kepercayaan itu sendiri. Mereka merasa tidak layak bahagia karena membawa “dosa lama.”
Padahal, yang lahir kembali hanyalah sukma—bukan tubuh, bukan nyawa, bahkan bukan memori fisik. Maka siapa pun dirimu di masa lalu, itu bukan dirimu yang sekarang. Kau berbeda. Kau baru.
Oleh sebab itu, maafkanlah semuanya. Termasuk dirimu sendiri. Karma bukan untuk dihukum. Karma untuk disadari, dilepaskan, dan diselesaikan. Jangan simpan beban emosi dan luka lama yang hanya menghambat pertumbuhan jiwamu.
Akhirnya…
Kita semua memiliki pilihan: apakah ingin mengisi hidup ini dengan memori yang membebaskan, atau justru dengan trauma yang menahan? Apakah ingin menyimpan energi positif yang mendorong, atau negatif yang menghambat?
Jawabannya ada di tangan kita.
Putuskan karma, dan lukislah hidupmu sendiri.
Penulis : Id Amor
Follow Berita Kontranews.id di Tiktok