Di era serba digital ini, yang viral sering kali dianggap sebagai kebenaran. Apa yang ramai dibicarakan, dibagikan, dan dikomentari di media sosial, tiba-tiba menjadi semacam “fakta umum”—padahal belum tentu benar.

Di sinilah jebakan besar itu mengintai: kita perlahan kehilangan daya kritis karena terlalu percaya pada yang ramai.

Viralitas bukan jaminan kebenaran. Banyak informasi yang sengaja didesain untuk menarik emosi, bukan logika. Judul bombastis, narasi provokatif, hingga potongan video yang dipelintir sering kali lebih cepat menyebar dibandingkan klarifikasi yang sebenarnya.

Dan ketika kita terburu-buru menyerap dan menyebarkan, kita tanpa sadar menjadi bagian dari rantai penyebar kebohongan.

Menjaga pikiran di tengah banjir informasi bukan perkara mudah. Butuh kesabaran untuk tidak langsung percaya, butuh kebijaksanaan untuk menahan jari sebelum membagikan, dan butuh keberanian untuk bertanya: “Apakah ini benar adanya, atau hanya ingin membuat saya bereaksi?”

Pendidikan literasi digital kini bukan lagi sekadar kebutuhan, tapi keharusan. Kita perlu membiasakan diri memeriksa sumber, membandingkan informasi, dan lebih mengandalkan akal sehat daripada sekadar mengikuti tren.

Karena pada akhirnya, yang viral bisa saja menipu, tapi pikiran yang jernih akan menuntun kita ke kebenaran.

Jangan biarkan algoritma dan emosi mengendalikan cara berpikir kita. Jaga pikiranmu. Jangan percaya semua yang viral.

Sebab di zaman ketika kebohongan bisa dikemas secantik mungkin, mempertahankan akal sehat adalah bentuk perlawanan yang paling penting.

Penulis : Ibhe Ananda
Ketuam Umum Serikat Wartawan Media Online
Follow Berita Kontranews.id di Tiktok