Kontranews.id – Di negeri yang katanya berdiri di atas hukum, keadilan tak selalu datang bersama kebenaran. Ia lebih sering datang kepada siapa yang punya waktu, kuasa, dan akses.

Sementara bagi sebagian yang lain—yang hanya menggenggam tanah, keyakinan, dan doa—keadilan adalah tamu yang terus dijanjikan, tapi tak kunjung tiba.

Negeri ini, kadang seperti tanah keras yang enggan merekah—meski benih keadilan ditanam dengan air mata, dan dipupuk oleh sabar yang nyaris kehabisan waktu. Hukum tumbuh bukan dari nurani, melainkan dari kuasa siapa yang memegang cangkul.

Keadilan sering bersembunyi di balik pasal, dan hanya muncul untuk mereka yang punya suara lebih nyaring daripada ratap.

Dan di antara orang-orang yang berjalan pelan di lorong sunyi sistem hukum, ada satu yang terus melangkah meski langkahnya pincang—bukan karena kaki yang luka, melainkan karena terlalu sering tersandung harapan sendiri.

BACA JUGA :  Penambang Ilegal Takalar Melenggang di Atas Karpet Merah Oknum Aparat

Namanya Budiman S, seorang warga biasa dari Dusun Panaikang, Desa Moncongloe, Kabupaten Maros. Ia tak datang membawa poster, tak mengancam lewat media, apalagi menekan lewat kekuasaan. Ia hanya ingin satu hal: tenang hidup di atas tanah yang telah ia tempati secara sah bersama istrinya, Fely Sule Toding.

Sejak 2016, hidupnya tidak lagi menyentuh arti “tenang”. Tanah yang ia rawat berubah menjadi sumber derita. Sengketa batas lahan menyeretnya dalam belitan hukum yang panjang dan melelahkan. Perkara demi perkara berdatangan, dari urusan perdata hingga pidana. Ia bukan hanya kehilangan waktu dan ketenangan, tapi juga kehilangan tempat berpijak di negerinya sendiri.

Konflik itu menjalar ke meja-meja birokrasi: dari kantor desa ke penyidik Polsek Moncongloe, lanjut ke Polres Maros, bahkan sampai ke Kantor Wilayah ATR/BPN Sulawesi Selatan.

Budiman tak diam. Ia melapor ke Propam Polda Sulsel, berharap kejanggalan dalam proses hukum diselidiki. Tapi di negeri ini, laporan rakyat kecil seperti daun jatuh di tengah hujan: lenyap tanpa gema.

BACA JUGA :  Payah, Bukti Sudah Diserahkan tapi Laporan Budiman S Belum Diproses Polda Sulsel

Sementara harapannya menggantung, tudingan baru muncul. Fitnah ditebar, framing dibangun. Ia dan istrinya dijadikan sasaran pemberitaan palsu yang sengaja dipintal untuk merobohkan martabat. Kasus ini kini ditangani oleh Krimsus Polda Sulsel, tapi luka sosialnya telah lebih dulu meluas.

“Saya hanya ingin hidup tenang, tinggal di tanah yang saya urus sendiri secara sah. Tapi tampaknya ada yang tak senang kalau saya terus berdiri memperjuangkan itu,” katanya, lirih tapi tegas—seperti doa yang lahir dari dada yang terlalu lama dipendamkan.

Dan malam itu datang, seperti yang ditakutkan: sekelompok orang menyerang rumahnya. Batu beterbangan, kendaraan rusak, dan istrinya menggigil dalam ketakutan. Budiman terluka, bukan hanya secara fisik, tapi juga dalam keyakinan bahwa negara akan melindungi.

BACA JUGA :  Polisi Bela Pejabat Parkir Liar, Mahasiswa UNIBOS Tak Tinggal Diam

Pelakunya diduga dipimpin oleh seseorang berinisial AD. Laporan telah dibuat. Tapi seperti sebelumnya—diam lebih sering jadi jawaban.

Ia tahu, ini bukan lagi tentang tanah. Ini tentang hak untuk hidup tanpa diganggu. Tentang harga diri. Tentang mempertahankan apa yang sah, tanpa harus dituduh macam-macam.

Budiman tak sedang mengharapkan kemenangan. Ia hanya ingin negara yang mestinya hadir, benar-benar hadir. Bukan sekadar spanduk di tembok pengadilan atau pasal di halaman undang-undang.

Dan bila hari ini ia masih berdiri, bukan karena ia kuat. Tapi karena tak ada pilihan lain selain terus melawan. Melawan sunyi, melawan stigma, melawan hukum yang terlalu sering memilih diam di hadapan kezaliman.

Negeri ini sering lupa:

Orang kecil pun bisa membatu.

Bukan karena membangkang—

Tapi karena terlalu sering disuruh tunduk pada sesuatu yang tak lagi adil.

Editor : Id Amor
Follow Berita Kontranews.id di Tiktok