Seringkali orang bertanya kepada saya, mengapa saya tampak selalu berpikir positif? Jawaban saya sederhana: saya tidak berusaha untuk selalu positif. Yang saya yakini adalah segala sesuatu sudah sesuai. Bukan hanya yang menyenangkan, tapi juga yang menyakitkan.
Kita hidup di dunia ciptaan Tuhan yang penuh dualitas: ada siang dan malam, suka dan duka, sehat dan sakit, tawa dan air mata. Tapi Tuhan sendiri bukan dua. Tuhan adalah Tunggal.
Masalahnya, kita sebagai manusia sering terjebak dalam persepsi dualistik. Kita mendambakan yang disebut “baik”, dan menolak yang dianggap “buruk”. Ketika hal menyenangkan terjadi, kita bersyukur. Tapi saat hidup menyajikan kesulitan, kita mengeluh, takut, bahkan merasa ditinggalkan Tuhan.
Padahal, semua kejadian—tanpa kecuali—adalah bagian dari rancangan-Nya. Bukan untuk disukai atau ditolak, tapi untuk dipahami dan disadari. Dalam rasa sakit pun terkandung kasih-Nya. Dalam kegagalan pun tersembunyi arah baru yang Dia sediakan.
Saya memandang penderitaan sebagai “pintu tanpa kunci” yang harus didobrak. Iya, harus didobrak! Kata “dobrak” mungkin terdengar kasar, identik dengan rasa sakit dan keterpaksaan. Tapi justru di balik dobrakan itu, ada pengetahuan, ada pembaruan, ada pertumbuhan.
Tuhan tidak hanya hadir dalam rezeki dan kesuksesan. Ia juga hadir dalam kehilangan dan luka. Semua itu bukan hal yang harus dilabeli positif atau negatif. Tapi cukup dilihat sebagai sesuatu yang “sudah sesuai”.
Hidup adalah Pesta Tuhan. Dan dalam pesta itu, baik dan buruk hanyalah ornamen. Kalau kita hanya fokus pada ornamen yang indah dan menolak yang kusam, kita akan gagal menikmati keseluruhan maknanya.
Maka, berhentilah sibuk menjadi “positif”. Karena hidup bukan tentang menolak sisi gelap. Hidup adalah tentang melihat terang di balik segala peristiwa.
Cukup pahami bahwa semuanya sudah sesuai. Dan dari sana, kedamaian akan datang tanpa perlu dicari.
Penulis : Ibhe Ananda
Follow Berita Kontranews.id di Tiktok